Reviews for #FirefoxBatik
#FirefoxBatik by Mozilla Indonesia
Review by sofii
Rated 4 out of 5
by sofii, 10 years ago“Pengumuman! Pengumuman! Hari ini hari batik nasional. Ke kampus pake batik, yuk...!”
Salah satu teman kosanku teriak-teriak sesudah subuh pada tanggal 2 Oktober lalu. Aku sudah tahu karena banyaknya kicauan tentang hari batik nasional di facebook maupun tweeter.
“Yuk, barengan yuk pake batik yang kita beli sama kemaren.” ajakku sambil melongokkan kepala dari balik pintu kamarku.
Temanku yang teriak-teriak tadi setuju. Hari itu empat dari sembilan warga kosan berangkat kuliah dengan memakai atasan batik. Lima selebihnya memilih berpakaian biasa. Alasan mereka beragam.
“Batik di hari Rabu? Nggak salah? Cukup deh hari Senin aku pakai batik. Nggak mau menyiksa diri.” Ya, hari Senin kita memang diwajibin pakai batik seragam kelas.
“Batik? Nggak ah, kayak ibu-ibu pengajian.”
“Baju batikku cuma satu, seragam kelas kita, jadi nggak mungkin aku pakai.”
Kira-kira begitulah serentetan alasan yang diungkapkan teman-temanku. Kami berempat yang memakai batik hari itu sibuk memperhatikan seluruh warga kampus. Setiap kali tampak ada mahasiswa yang menggunakan batik spontan akan kami tunjuk-tunjuk.
“Nasionalis.”
Begitulah betapa kentalnya batik mewarnai budaya negeri seribu satu pulau ini. Sampai-sampai predikat ‘warga yang memiliki nasionalisme tinggi’ akan diberikan untuk mereka yang mencintai batik. Tidak mustahil, karena kerajinan batik sudah ada di Indonesia sejak zaman Majapahit. Batik adalah sejarah dan saksi perjalanan negeri ini. Coba lihat foto R.A Kartini dan suaminya, mereka juga menggunakan bawahan batik. Bahkan Presiden Soeharto pernah menggunakan batik ketika menghadiri konferensi PBB.
Dulu batik adalah ikon yang sangat dibanggakan masyarakat. Mereka memakainya setiap hari. Para wanita Jawa selalu memadu padankan kebaya mereka dengan bawahan batik, begitu juga dengan laki-lakinya, bawahan batik plus blangkon menjadi pakaian sehari-hari.
Waktu terus melangkah cepat. Kini sampailah kita di sebuah zaman yang serba canggih. Teknologi yang mendorong gaya hidup hedonis dan komunikasi yang luar biasa cepat. Gaya hidup masyarakat dari segala penjuru dunia dapat dilihat dan dibaca dalam sekali klik. Budaya berbatik pun perlahan digulung, digantikan dengan pakaian ala Barat yang lebih menyajikan keindahan dengan pesona warna dan aneka model. Para desainer negeri inipun tidak mau ketinggalan, mereka ikut berlomba-lomba merancang busana yang berkiblat ke Barat. Banyak juga tren-tren pakaian bercorak batik yang mereka kreasikan, hanya saja minat masyarakat kita tampaknya susah untuk bersemi kembali. Batik tetap ada di dalam lemari, namun hanya dikenakan pada acara-acara resmi.
Terlebih para remaja. Batik adalah sesuatu yang dianggap kuno dan tidak cocok dengan tren dunia yang mereka lihat di internet. Ya, Internet yang dulu hanya menjadi sajian yang bisa dinikmati sebagian kecil masyarakat, kini menjamur. Kemudahan akses informasi tanpa batas yang ditawarkan membuat semua kalangan mengenalnya. Terlebih di perkotaan, dimulai dari pelajar SD hingga kakek-nenek, semua mengerti cara mengakses internet.
Lihatlah, di tengah kondisi yang seperti itu, adakah yang bisa mengambil peluang? Dan jawabanya: ADA! Inilah dia hasilnya: #FirefoxBatik. Jika pakaian sudah tidak menarik minat para masyarakat lagi, kenapa tidak menunjukkan batik dengan cara yang lebih canggih? Batik menghiasi halaman mozila firefox. Sebuah kombinasi yang tepat. Firefox adalah penjelajah yang memiliki banyak keunggulan seperti: ukuran aplikasi yang relatif lebih kecil, populer—terbukti hampir semua temanku menggunakan firefox, keragaman add on dan terus berkembang, dan kemanan browser yang lebih ampuh. Sementara itu batik adalah ikon Indonesia yang seharusnya terus dicintai masyarakat negeri ini. Ketika keduanya digabungkan, maka tercapailah sebuah tujuan brilian, yaitu masyarakat Indonesia tetap bisa menggunakan batik dalam kemudahan teknologi canggih.
Aku sendiri memasang #FirefoxBatik kurang lebih satu minggu yang lalu, aku sengaja mengambil jeda untuk menulis review ini, dengan tujuan bisa merasakan feel yang diberikan oleh tampilan firefox-ku. Aku suka dengan ide warna manis yang ditampilkan dan motif batik yang halus—tidak bercorak kuno, dan tampak ilegan. Inovasi logo sayap burung garuda dengan rubah di tengah-tengahnya, kurasa adalah inovasi yang sangat jenius, sehingga perpaduan antara firefox dan Indonesia terkesan natural tanpa dipaksakan. Aku memberikan dua jempol tangan—pengennya juga jempol kaki, tapi kesannya tidak sopan, untuk Kak Hendra. Selamat Kak Hendra untuk karya kerennya!
Nah, jadi buat teman-teman yang malu atau tidak suka menggunakan batik, aku sarankan untuk memilih #FirefoxBatik ini sebagai alternatif. Saya berani jamin kalau warnanya tidak akan membuat mata perih, dan tentunya mata kita akan dimanjakan oleh desain yang smooth. Jadi semua bisa jadi duta batik dengan cara memasang tema ini.
“Eh kamu nggak menghargai budaya Indonesia, hari batik aja nggak pakai batik!”
“Justru aku lebih menghargai budaya kita daripada kamu, kalau kamu cuma pakai batik di hari batik aja, aku justru pakai batik setiap hari.”
“Nggak pernah lihat, tuh?”
“Ya iyalah, kan kamu nggak pernah buka internet dari laptopku. Aku pakai batik untuk menjelajah internet!”
So, tidak ada alasan lagi ya buat tidak mencintai ikon negara sendiri. Kalau bule-bule aja percaya diri saat memakai batik, masa kita yang pribumi tidak?
Salah satu teman kosanku teriak-teriak sesudah subuh pada tanggal 2 Oktober lalu. Aku sudah tahu karena banyaknya kicauan tentang hari batik nasional di facebook maupun tweeter.
“Yuk, barengan yuk pake batik yang kita beli sama kemaren.” ajakku sambil melongokkan kepala dari balik pintu kamarku.
Temanku yang teriak-teriak tadi setuju. Hari itu empat dari sembilan warga kosan berangkat kuliah dengan memakai atasan batik. Lima selebihnya memilih berpakaian biasa. Alasan mereka beragam.
“Batik di hari Rabu? Nggak salah? Cukup deh hari Senin aku pakai batik. Nggak mau menyiksa diri.” Ya, hari Senin kita memang diwajibin pakai batik seragam kelas.
“Batik? Nggak ah, kayak ibu-ibu pengajian.”
“Baju batikku cuma satu, seragam kelas kita, jadi nggak mungkin aku pakai.”
Kira-kira begitulah serentetan alasan yang diungkapkan teman-temanku. Kami berempat yang memakai batik hari itu sibuk memperhatikan seluruh warga kampus. Setiap kali tampak ada mahasiswa yang menggunakan batik spontan akan kami tunjuk-tunjuk.
“Nasionalis.”
Begitulah betapa kentalnya batik mewarnai budaya negeri seribu satu pulau ini. Sampai-sampai predikat ‘warga yang memiliki nasionalisme tinggi’ akan diberikan untuk mereka yang mencintai batik. Tidak mustahil, karena kerajinan batik sudah ada di Indonesia sejak zaman Majapahit. Batik adalah sejarah dan saksi perjalanan negeri ini. Coba lihat foto R.A Kartini dan suaminya, mereka juga menggunakan bawahan batik. Bahkan Presiden Soeharto pernah menggunakan batik ketika menghadiri konferensi PBB.
Dulu batik adalah ikon yang sangat dibanggakan masyarakat. Mereka memakainya setiap hari. Para wanita Jawa selalu memadu padankan kebaya mereka dengan bawahan batik, begitu juga dengan laki-lakinya, bawahan batik plus blangkon menjadi pakaian sehari-hari.
Waktu terus melangkah cepat. Kini sampailah kita di sebuah zaman yang serba canggih. Teknologi yang mendorong gaya hidup hedonis dan komunikasi yang luar biasa cepat. Gaya hidup masyarakat dari segala penjuru dunia dapat dilihat dan dibaca dalam sekali klik. Budaya berbatik pun perlahan digulung, digantikan dengan pakaian ala Barat yang lebih menyajikan keindahan dengan pesona warna dan aneka model. Para desainer negeri inipun tidak mau ketinggalan, mereka ikut berlomba-lomba merancang busana yang berkiblat ke Barat. Banyak juga tren-tren pakaian bercorak batik yang mereka kreasikan, hanya saja minat masyarakat kita tampaknya susah untuk bersemi kembali. Batik tetap ada di dalam lemari, namun hanya dikenakan pada acara-acara resmi.
Terlebih para remaja. Batik adalah sesuatu yang dianggap kuno dan tidak cocok dengan tren dunia yang mereka lihat di internet. Ya, Internet yang dulu hanya menjadi sajian yang bisa dinikmati sebagian kecil masyarakat, kini menjamur. Kemudahan akses informasi tanpa batas yang ditawarkan membuat semua kalangan mengenalnya. Terlebih di perkotaan, dimulai dari pelajar SD hingga kakek-nenek, semua mengerti cara mengakses internet.
Lihatlah, di tengah kondisi yang seperti itu, adakah yang bisa mengambil peluang? Dan jawabanya: ADA! Inilah dia hasilnya: #FirefoxBatik. Jika pakaian sudah tidak menarik minat para masyarakat lagi, kenapa tidak menunjukkan batik dengan cara yang lebih canggih? Batik menghiasi halaman mozila firefox. Sebuah kombinasi yang tepat. Firefox adalah penjelajah yang memiliki banyak keunggulan seperti: ukuran aplikasi yang relatif lebih kecil, populer—terbukti hampir semua temanku menggunakan firefox, keragaman add on dan terus berkembang, dan kemanan browser yang lebih ampuh. Sementara itu batik adalah ikon Indonesia yang seharusnya terus dicintai masyarakat negeri ini. Ketika keduanya digabungkan, maka tercapailah sebuah tujuan brilian, yaitu masyarakat Indonesia tetap bisa menggunakan batik dalam kemudahan teknologi canggih.
Aku sendiri memasang #FirefoxBatik kurang lebih satu minggu yang lalu, aku sengaja mengambil jeda untuk menulis review ini, dengan tujuan bisa merasakan feel yang diberikan oleh tampilan firefox-ku. Aku suka dengan ide warna manis yang ditampilkan dan motif batik yang halus—tidak bercorak kuno, dan tampak ilegan. Inovasi logo sayap burung garuda dengan rubah di tengah-tengahnya, kurasa adalah inovasi yang sangat jenius, sehingga perpaduan antara firefox dan Indonesia terkesan natural tanpa dipaksakan. Aku memberikan dua jempol tangan—pengennya juga jempol kaki, tapi kesannya tidak sopan, untuk Kak Hendra. Selamat Kak Hendra untuk karya kerennya!
Nah, jadi buat teman-teman yang malu atau tidak suka menggunakan batik, aku sarankan untuk memilih #FirefoxBatik ini sebagai alternatif. Saya berani jamin kalau warnanya tidak akan membuat mata perih, dan tentunya mata kita akan dimanjakan oleh desain yang smooth. Jadi semua bisa jadi duta batik dengan cara memasang tema ini.
“Eh kamu nggak menghargai budaya Indonesia, hari batik aja nggak pakai batik!”
“Justru aku lebih menghargai budaya kita daripada kamu, kalau kamu cuma pakai batik di hari batik aja, aku justru pakai batik setiap hari.”
“Nggak pernah lihat, tuh?”
“Ya iyalah, kan kamu nggak pernah buka internet dari laptopku. Aku pakai batik untuk menjelajah internet!”
So, tidak ada alasan lagi ya buat tidak mencintai ikon negara sendiri. Kalau bule-bule aja percaya diri saat memakai batik, masa kita yang pribumi tidak?